Senin, 01 Maret 2010

Dasyatnya Kekutan doa dan Maaf

ORHIBA - Semalam saya menghadiri resepsi pernikahan putra seorang kerabat. Dalam acara itu, saya bertemu seorang kerabat yang sudah lamaaaa sekali tidak saling bertemu, bahkan kami saling kehilangan kontak. Namanya Tante Nana. Terakhir saya ketemu dia waktu menghadiri pernikahannya 22 tahun yang lalu.
Dalam masa berpisah sekian lama itu, sekitar 10 atau 12 tahun yang lalu saya mendengar kabar Tante Nana
mengidap kanker. Entah kanker apa. Yang sempat saya dengar dari ibunya, kondisinya begitu parah, kankernya sudah menyebar ke mana-mana, sehingga saat hendak dioperasi pun, dokter tidak berani melakukan apa-apa. Walaupun tubuh Tante Nana sudah dibedah, melihat sel-sel kanker telah menyebar begitu luas sehingga organ-organ tubuhnya saling lengket seolah menggumpal jadi satu, dokter pun hanya menjahit kembali sayatan yang dibuatnya di perut tanpa melakukan tindakan apa-apa. Dokter menyatakan tidak mampu berbuat apa-apa lagi, dan menyuruh Tante Nana pulang. “Banyak berdoa saja, ya,” pesannya.
Mendengar cerita itu, diam-diam muncul pikiran yang mengerikan di otak saya. Diam-diam saya merasa yakin akan mendengar kabar kematiannya dalam waktu yang tidak lama lagi. (Maaf ya Tante….)
Tetapi ternyata kabar itu tak pernah muncul. Tante Nana ternyata masih hidup sampai sekarang, bahkan seperti yang saya lihat semalam, segar-bugar, montok, dan ceria di acara pernikahan keponakannya. Tentu saja saya tak menyia-nyiakan kesempatan. Di sela-sela kesibukannya mengobrol dengan para tamu dan kerabat lainnya, saya menyadap kiatnya sembuh dari kanker. (Sedikit kurang sopan, mungkin, tapi kapan lagi dapat kesempatan ketemu, karena ternyata tempat tinggal kami terpisah jarak 1.000 km.)
Ia tidak sempat cerita kankernya jenis apa. Hanya sempat mengatakan bahwa rahimnya telah diangkat, tetapi beberapa bulan kemudian kankernya tumbuh lagi. Kali ini Tante Nana berobat ke sinshe selama tujuh bulan. Tetapi kankernya semakin membesar, semakin mengganas, hingga kondisinya menjadi seperti yang saya gambarkan di atas.
Mendapati kenyataan dokter “angkat tangan” dan pengobatan sinshe tidak membuahkan hasil, yang bisa dilakukan Tante Nana memang hanya berdoa. Kadang merenung pedih menyaksikan ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. Si sulung masih SD, sedang si bungsu belum sekolah. Tapi ia segera menyadari, bahwa kepedihannya tidak akan mengubah keadaan. Maka Tante Nana pun “bersiap-siap”.
Setiap hari Tante Nana berdoa dan berdoa. Ia memohon kesembuhan pada Tuhan, Sang Penyembuh Sejati. Tetapi jika Tuhan tidak menghendaki kesembuhannya, ia pasrah. Ia siap dipanggil kapan saja. Ia hanya ingin bisa menghadap Tuhan dalam keadaan “bersih”, suci.
Sejak saat itu Tante Nana rajin minta maaf kepada semua orang dan memaafkan orang lain.
“Minta maaf itu gampang,” katanya. “Kita tinggal menemui atau menelpon orang itu, dan bilang minta maaf. Tetapi mengampuni orang lain? Menghilangkan dendam? Menghilangkan sakit hati? Tidak semudah itu….”
Tetapi karena ingin menghadap Tuhan dalam keadaan suci, tanpa ada duri di dalam hati, Tante Nana tidak menyerah. Di waktu senggangnya, ia rajin mencatat nama-nama orang yang pernah membuatnya marah, sedih, atau sakit hati, sejak ia kecil hingga berada di ambang maut itu.
“Tuhan, aku hanyalah manusia biasa. Tidak mungkin aku mampu memaafkan dan mengampuni mereka semua,” doanya lirih. “Tetapi Engkau Maha Pengampun. Ampunan-Mu Maha Luas. Maka, sebelum aku menghadap-Mu, mampukanlah aku untuk mengampuni mereka semuanya, mampukanlah aku Tuhan…”
Hari demi hari yang dilakukan Tante Nana adalah mendoakan semua orang yang ada dalam catatannya, satu demi satu, seikhlas-ikhlasnya. Ia mendoakan supaya orang yang menyakiti hatinya itu diampuni oleh Tuhan, diberkati hidupnya, selalu sehat, bahagia, sejahtera, dan berbagai doa baik lainnya. Ia yakin, segala doa baik itu, berkatnya akan kembali juga kepada dirinya.
Minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun berlalu. Tak pernah lagi Tante Nana periksa ke dokter. “Untuk apa? Toh dokter sudah angkat tangan….” Selain pasrah dan rajin berdoa, sebagai upaya mempertahankan kondisinya sehari-hari, ia rutin mengkonsumsi dua jenis suplemen. Tidak ada jamu atau obat-obatan lain. Ternyata kondisinya berangsur membaik. Tubuhnya semakin kuat dan bugar.
“Aku juga nggak tahu kapan sembuhnya. Tahu-tahu setelah beberapa tahun lewat, aku coba cek ke dokter, ternyata kankerku sudah hilang sama sekali. Tapi bukan suplemen itu yang bikin aku sembuh. Bukan. Suplemen, kemo, dan segala macam itu hanya sarana. Kalau aku bilang, mukjizat Tuhanlah yang menyembuhkan aku.”
Kepada sahabat sesama penderita kanker, Tante Nana berpesan untuk shalat tahajjud tiap malam (jika muslim), rajin berdoa, selalu minta maaf, dan ikhlas mengampuni orang lain. Semoga itu menjadi jalan kesembuhan seperti yang dialaminya.
Terima kasih atas sharingnya ya Tante, semoga Allah selalu memberkati Tante sekeluarga. Amin

Sumber : Rumah kanker


3 komentar:

  1. aku yang pertamax !!

    good artikel .. keep blogging sob .

    BalasHapus
  2. wah emang benar - benar dasyat nih artikel... keren salam kenal sob,, kalau bisa tukaran link yuk,,,,

    BalasHapus